Cerpen "Terror" - Sori Siregar
Ketika berondongan tembakan menggelegar dan pekikan memecah keheningan malam, saya dan kedua teman yang bertugas di pos sedang main kartu. Kami bertiga tersentak. Lalu saling memandang.
“Dari arah sana”, kata Baskoro menunjuk kearah selatan. Baskoro segera berdiri dan mengambil pentung yang disandarkannya di dinding, Jarung jam belum menunjukkan pukul sepuluh. Melihat saya dan Fikar masih duduk di bangku dan teras menatapnya, Baskoro memberi perintah “Ayo, segera ke sana”.
Tanpa menunggu perintah lebih lanjut, saya dan Fikar bangkit dari kursi dan segera mengambil pentung masing-masing. Saya juga menjangkau senter yang tergeletak di samping cangkir kopi. Pos jaga segera kami tinggalkan. Di perjalanan menuju arah datangnya suara tembakan, Baskoro menghubungi pos jaga diselatan dengan Walkie-talkie.
“Kami hampir tiba di lokasi kejadian. Sebuah sedan putih tampak dipacu terburu-buru dari lokasi yang kami tuju. Arahnya ke utara. Segera cegat, kalau mungkin”,
Persis kalimat itu selesai, sebuah sedan putih melaju menuju ke arah kami bertiga. Baskoro melompat ke tengah jalan dan mengangkat tangannya memberi isyarat agar mobil itu berhenti. Sadar bahwa mobil itu semakin dekat tanpa mengurangi kecepatannya, Baskoro segera membuang badan ke pinggir jalan. Mobil itu melaju tanpa rintangan apa-apa.
Untuk beberapa saat kami bertiga tidak tahu harus berbuat apa. Kemudian saya dengar suara Fikar. “Gila kau, kalau tadi orang dalam mobil itu melepaskan tembakan kan, kau mati konyol”. Baskoro menggelengkan kepala, sambil berdiri. Setelah menatap kami berdua ia memberi isyarat agar kami meneruskan perjalanan.
Ketika kami tiba, penduduk telah berkerumun didepan rumah besar itu. Rekan-rekan dari pos jaga di selatan tampak mengelilingi satpam Hasanuddin yang luka-luka di kepala. Hasanuddin tidak bicara apa-apa, ia hanya menunjuk ke arah rumah. Saat itu harus kami menyadari,korban utama bukanlah Hasanuddin, tetapi pemilik rumah. Tanpa dikomando, kami bertiga dan tiga satpam dari pos jaga di selatan segera menghambur ke dalam rumah.
Bapak Putrana tergeletak di lantai berlumur darah. Istri dan dua anaknya menangisinya dengan jeritan yang menyayat dan seorang anaknya lagi tampak berteriak di telepon. Darah yang mengalir dan jeritan yang mengharukan. Saya benar-benar tidak tahu apa yang terjadi setelah itu.
Ketika saya sadar, Fikar tersenyum kepada saya. “Melihat kejadian begitu saja, kau harus berbaring di klinik 24 jam, ini selama satu jam”, katanya ringan, “Karena ini tidak termasuk dalam kontrak kerja, rekening klinik, ini harus kau bayar sendiri”, ujarnya lagi bercanda.
Kesulitan mendapatkan kerja memaksa saya memilih pekerjaan ini. Membantu satpam sebagai petugas penjaga keamanan lingkungan. Baskoro dan Fikar membantu saya mendapatkan pekerjaan ini dengan memperkenalkan saya kepada Ketua Lingkungan. Untuk tugas ini saya menandatangani semacam kontrak di atas kertas tanpa materai. Dalam kontrak ini disebutkan, saya dapat diberhentikan sewaktu-waktu bila tidak diperlukan.
Peristiwa pembunuhan Bapak Putrana ini sangat memalukan saya, Saya malu, bukan karena kami sebagai petugas tidak berhasil menjaga keamanan lingkungan, tetapi karena saya menjadi beban petugas lain yang terpaksa menggotong saya ke klinik. Saya pingsan karena tidak mampu menyaksikan akibat kekejaman yang terjadi dirumah itu. Apa yang diharapkan dari petugas keamanan seperti saya.
Saya memohon berhenti dari tugas saya. Ketua Lingkungan pun sama sekali tidak mencegah saya. Berarti saya memang bukan orang yang diperlukan. Rasa malu saya, paling tidak, dapat saya tekan dengan sikap tahu diri seperti itu.
tetapi. rasa malu saya lain, saya tidak akan pernah dapat saya musnahkan. Rasa malu yang merangkak pelan-pelan dan akhirnya tiba di puncak. Rasa malu yang bermula dari perasaan kecewa dan iri.
Dua tahun itu pula saya telah menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi dan mendapat gelar sarjana. Tetapi, selama dua tahun itu pula saya menganggur, setelah mengemis pekerjaan ke sana ke mari dengan membawa ijazah yang saya peroleh dengan susah payah. Saya benar-benar merasa dijerumuskan oleh keadaan yang tidak kunjung membaik. Di luar keinginan saya, perasaan yang tidak saya harapkan itu muncul. Saya membutuhkan belas kasihan orang itu, saya akhirnya mengasihani diri saya sendiri.
Perasaan ini, tanpa dapat saya kendalikan, berkembang menjadi kebencian dan iri kepada banyak orang. Orang-orang kaya,orang-orang yang memiliki pekerjaan, orang-orang kaya, orang-orang yang memiliki pekerjaan, orang-orang yang menciptakan lapangan kerja sendiri seakan-akan menjadi musuh saya, karena saya merasa diejek. Urutan kebencian dan rasa iri itu berpuncak pada orang-orang kaya.
Saya tidak ingin perasaan seperti itu terus-menerus meneror saya. Saya tergangggu dan ingin membebaskan diri. Saya berusaha keras dan mencoba dengan segala daya. Betapa kecewanya saya, begitu menyadari bahwa yang tumbuh subur dalam diri saya adalah pikiran-pikiran untuk memusnahkan musuh-musuh saya.
Bapak Putrana yang memelihara beberapa satpam itu dalah sasaran pertama saya. Dialah orang yang palingmakmur hidupnya di lingkungan kami. Tetapi, kemakmuran itu justru membuatnya semakin jauh dari masyarakat di sekitarnya. Ia tidak merasa perlu membayar iuran bulanan untuk membuang sampah karena ia menyediakan kavling khusus untuk menimbun sampah dan tidak pernah membayar uang keamanan karena memiliki satpam sendiri. Ia menikmati kekayaan yang dimilikinya untuk dinya sendiri dan keluarganya.
Saya tidak mengenalnya, bahkan tidak tahu bagaimana wajahnya. Tetapi, dialah musuh utama saya yang harus saya musnahkan. Terus terang saya tidak tahu bagaimana caranya. Yang jelas, keinginan untuk melenyapkan tetap membara.
Ketika saya diterima dan mulai bekerja sebagai pembantu petugas keamanan lingkungan, perasaan itu menemani saya kemana-mana. Ia telah menjadi teman yang akrab dan selalu mendesak saya. Saya menunggu peluang dan terus menunggu. Dan, peristiwa itu pun terjadi. Bapak Putrana terbunuh dalam aksi perampokan yang dilakukan sejumlah orang bersenjata . saya menyaksikan tubuh musuh saya itu tergeletak tanpa nyawa. Saya tidak percaya pada apa yang saya saksikan. Orang lain telah mendahului saya dengan alasannya sendiri. Apapun alasan mereka buat saya tidak penting. yang jelas mereka telah mendahului saya. Peluang telah dirampas dari tangan saya. Itulah yang saya rasakan ketika menyaksikan mayat Bapak Putrana yang ditangisi dengan jeritan itu. Saya berang.
Pada saat yang sama, bau darah yang amis membuat saya kehilangan keseimbangan . Seandainya, sayalah yang melakukan pembunuhan itu, inilah akibat perbuatan saya. Tubuh yang tergeletak tak bernyawa dan darah yang mengalir tak berhenti. Dan, sejumlah orang, anggota keluarganya, yang kehilangan. Betapa mengerikan. Betapa pengecutnya saya. saya dilecut rasa malu.
Rasa benci dan iri yang selama ini terus mendesak saya dengan arusnya yang deras saat itu berperang dengan rasa malu yang datang bagaikan gelombang. Saya tidak berdaya dan menyerah. baskoro, Fikar dan teman-teman petugas lain tidak pernah tahu mengapa saya jatuh pingsan ketika itu.
Kini, rasa malu itu yang tak henti-hentinya meneror saya. Saya tidak tahu harus lari kemana.
(jakarta,25 Januari 1993) Karya : Sori Siregar
Harga : *Belum termasuk Ongkos kirim

Join the conversation